Master Cheng Yen

Master Cheng Yen lahir dengan nama Wang Chin-yun (Awan Cerah) pada 14 Mei 1937, di Taichung, Taiwan. Karena pamannya (saudara dari ayahnya) tidak memiliki anak, di usianya yang baru 11 bulan, ia diadopsi oleh paman dan bibinya, sesuatu yang lazim dilakukan di masa itu. Chin-yun adalah gadis yang cerdas dan rajin yang sangat disayang oleh orang tua angkatnya. Menjadi anak perempuan tertua dalam keluarga, dia mulai membantu menjaga adik-adiknya ketika dia sendiri masih kecil.
Ketika Chin-yun berusia sekitar tujuh tahun, dia mengalami serangan udara yang dibawa oleh Perang Dunia II ke Taiwan yang saat itu diduduki Jepang. Kekejaman perang yang dia saksikan sangat tertanam di dalam benak mudanya. Sepanjang masa pertumbuhannya, ia memiliki banyak pertanyaan tentang kehidupan dan artinya.
Tekad bervegetaris seumur hidup
Pada tahun 1952, ketika Chin-yun berusia 15, ibunya menderita sakit maag yang memerlukan pembedahan, yang merupakan prosedur operasi yang berpotensi mengancam jiwa pada masa itu. Sangat prihatin dengan kesehatan ibunya, anak perempuan berbakti itu mulai berdoa kepada Bodhisatva Avalokitesvara (Bodhisatva Welas Asih) untuk kesembuhan ibunya. Chin-yun bersedia mempersembahkan 12 tahun hidupnya agar ibunya bisa pulih kembali. Untuk menunjukkan tekadnya, Chin-yun menjalani puasa bervegetaris. Ibunya akhirnya pulih tanpa perlu menjalani operasi, Dan Chin-yun, sebagai wujud bersyukur, memilih menjadi vegetarian seumur hidupnya
Menjadi Seorang Biksuni
Ketika berusia 21 tahun, sebuah peristiwa terjadi yang akan mengubah arah hidupnya. Ayahnya tiba-tiba mengalami pendarahan otak, dan meninggal dunia pada hari berikutnya. Duka mendalam dan trauma akibat kematian ayah tercinta menandai titik-balik dalam hidupnya. Dia mulai mencari kebenaran di balik makna kehidupan dan kematian. Bahwa hidup bisa direngut dengan mudahnya membuat dia mulai berpikir, “Kenapa hidup bisa begitu singkat? Apa dan dimana sebenarnya arti hidup ini?”..
Pada masa itu, Chin-yun mulai mengenal dan mendalami ajaran Buddha. Dari pembelajarannya, perlahan-lahan dia menyadari bahwa setiap manusia harus memperluas cinta kasih yang dimilikinya bukan hanya kepada keluarganya saja, tetapi kepada seluruh umat manusia. Dia menjadi yakin bahwa dia harus bekerja untuk kebaikan semua orang, bukan hanya merawat keluarga kecilnya saja
Dengan tekad barunya, Chin-yun meninggalkan keluarga dan rumahnya untuk memulai perjalanan dengan tujuan yang lebih besar – mengejar kehidupan spiritual, melepaskan kehidupan duniawinya yang nyaman. Namun tidak lama kemudian, keluarganya menemukannya dan memintanya untuk pulang kembali ke rumah. Dia setuju, walau dalam batinnya, dia tidak pernah puas menjalani kembali kehidupan lamanya; diakhir tahun 1960, Chin-yun kembali meninggalkan keluarganya untuk menjalani dan memperdalam kehidupan spiritualnya.
Pada masa itu, dia berusia 23 tahun. Dari Taiwan bagian barat, Chin-yun pergi ke Taiwan bagian timur dan, setelah melewati serangkaian peristiwa, menetap di Hualien, sebuah kota kecil di wilayah pantai timur Taiwan yang kurang berkembang. Walaupun hidup begitu keras, tidak melunturkan tekad dan komitmennya.
Di akhir tahun 1962, pada usia 25 tahun, Chin-yun mencukur rambutnya sendiri yang menandakan dia sudah meninggalkan kehidupan duniawi dan mulai menjalani hidup sebagai biarawati Buddhis. Namun, Chin-yun tidak tahu bahwa aturan Buddhis mengharuskan seseorang memulai hal tersebut dibawah bimbingan seorang guru. Oleh karena itu, beberapa bulan kemudian ketika Chin-yun melakukan perjalanan ke Vihara Lin Chi di Taipei untuk menghadiri upacara inisiasi bagi mereka yang ingin menjalani kehidupan sebagai seorang bhikkuni, dia dinyatakan tidak memenuhi syarat karena tidak memiliki seorang guru spiritual yang membimbingnya.
Namun perjalanan ini juga yang membawa Chin-yun secara tidak sengaja bertemu dengan Venerable Master Yin Shun di Aula Pembabaran Dharma Hui Ri. Pada kesempatan itu, juga karena Chin-yun sangat menghormati Master Yin Shun, dia memohon agar bisa menjadi muridnya. Master Yin Shun ternyata bersedia, dan karena tengat waktu untuk menahbiskan Bhikku/Bhikkuni sudah hampir habis, Master Yin Shun tidak ada waktu panjang untuk mulai mengajari Chin-yun, sebaliknya memberi sebuah instruksi singkat kepada murid barunya, “Sekarang setelah menjadi seorang Bhikkuni, selalu ingat untuk bekerja demi kebaikan ajaran Buddha dan semua makhluk”. Beliau memberi nama Dharma Cheng Yen, dan dengan demikian Chin-yun dapat menjalani penahbisannya.

Berdirinya Tzu Chi
Pada tahun 1966, diusianya yang ke 29, Master Cheng Yen mendirikan Tzu Chi. Pada masa itu, di wilayah pantai timur Taiwan dimana Master Cheng Yen menetap, adalah sebuah daerah yang terbelakang dan kurang berkembang. Master Cheng Yen dan murid-muridnya mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari dengan menjahit sepatu bayi, mengubah kantung semen menjadi kantung makanan ternak yang lebih kecil, merajut sweater, dan menanam sendiri sayur-sayuran yang mereka makan.

Di musim semi tahun 1966, ketika Master Cheng Yen sedang mengunjungi seorang pasien di klinik lokal setempat, beliau melihat adanya genangan darah di lantai. Beliau diberitahu bahwa genangan darah itu milik seorang wanita penduduk asli Taiwan yang mengalami komplikasi pada kehamilannya. Keluarganya harus mengendong dia turun dari pegunungan ke klinik yang jauh. Mereka harus berjalan 8 jam, tetapi ketika sampai di rumah sakit, mereka ternyata tidak punya cukup uang untuk biaya berobat. Mereka hanya bisa membawanya pulang kembali. Mendengar hal ini, Master Cheng Yen sangat sedih. Beliau berpikir: sebagai seorang biarawati miskin yang tidak punya apa-apa, apa yang bisa dia lakukan untuk membantu orang-orang miskin tersebut ?
Tidak lama berselang, Tiga Suster Katolik mengunjungi Master Cheng Yen, dan mereka mulai bertukar-pikiran tentang ajaran agama masing-masing. Ketika Master Cheng Yen memaparkan bahwa ajaran Buddha mengajarkan cinta kasih dan kasih sayang kepada semua makhluk hidup, seorang Suster bertanya : Kenapa mereka tidak pernah melihat penganut ajaran Buddha melakukan kerja amal untuk membantu masyarakat, seperti membangun panti jompo, panti asuhan, atau rumah sakit ?
Pertanyaan Suster Katolik tersebut sangat membekas dalam pikiran Master Cheng Yen. Ajaran Buddha Dharma, jawabnya, mengajarkan orang untuk melakukan kebaikan tanpa perlu pengakuan atau diketahui oleh orang lain. Namun, dalam hatinya beliau tahu bahwa tanpa sebuah organisasi, apa yang bisa dia lakukan sangat terbatas. Master Cheng Yen kemudian mempertimbangkan : Bagaimana jika setiap murid menjual ekstra 1 set sepatu bayi setiap hari ? Bagaimana jika ke-30 ibu rumah tangga yang selalu mendengarkan ajarannya bisa mendonasikan NT 50 sen setiap harinya ? Maka dalam 1 tahun, mereka bisa punya uang yang cukup untuk membantu wanita asli Taiwan yang mengalami keguguran itu. Beliau sadar bahwa sebuah usaha kecil jika dilakukan secara rutin dan konsisten, akan memberi hasil yang luar biasa.
Oleh karenanya, Master Cheng Yen mendirikan Tzu Chi. Dengan membuat celengan bambu, dia meminta agar setiap pengikutnya mau menyisihkan NT 50 sen dan memasukkan ke dalam celengan bambu sebelum pergi belanja setiap harinya. “Kenapa tidak sekalian saja di setiap bulan ?” salah satu pengikutnya bertanya. Master Cheng Yen menjawab memang sama nilainya secara fisik, tapi sangat beda nilainya secara spiritual. Master Cheng Yen ingin setiap orang berpikir menolong orang lain setiap hari, bukan cuma sekali saja dalam sebulan.

Semakin lama semakin banyak orang yang bergabung menjadi donatur tetap Tzu Chi. Untuk itu, dibentuk tim yang bertugas untuk mengumpulkan donasi dari para donatur tetap tersebut. Tim ini sering harus pergi ke desa-desa untuk mengumpulkan donasi yang terkumpul pada celengan bambu. Pada suatu kesempatan, salah seorang relawan yang bertugas mengumpulkan donasi dari seorang donatur yang ternyata bertempat tinggal sangat jauh, menkomplain bahwa ongkos pulang-pergi nya lebih besar daripada total nilai donasi yang terkumpul. Namun Master Cheng Yen menjawab bahwa memberi kesempatan kepada orang lain untuk berdonasi adalah sama pentingnya dengan donasi itu sendiri. Dengan pergi mengumpulkan donasi, tim yang bertugas pada dasarnya memupuk bibit kebaikan dari para donatur. Kebaikan ini, bukan donasi nya, adalah misi yang sebenarnya dari Master Cheng Yen.
Master Cheng Yen sangat yakin bahwa semua orang memiliki welas asih yang sama besarnya dengan welas asih Sang Buddha. Sesungguhnya welas asih yang sebenarnya bukan hanya bersimpati dengan penderitaan orang lain – tetapi berusaha untuk meringankan penderitan mereka dengan tindakan nyata. Dengan mendirikan Tzu Chi, Master Cheng Yen berharap bisa memberi kesempatan kepada masyarakat awam untuk merealisasikan welas asih mereka, yang nantinya akan memberi ketenangan batin dan kebahagiaan kepada setiap insan, dan membuka jalan menuju kedamaian dunia.
