Secercah Harapan di Tengah Keputusasaan: Kisah Juliandi Melawan Luka dan Keterbatasan
Juliandi Pulungan dan Siti Rahma istrinya, hidup dengan penuh kesederhanaan di Medan. Hidup mereka bergantung pada pekerjaan serabutan dan jahitan permak kecil-kecilan. Mereka berusaha keras menghidupi empat buah hati yang kini sedang beranjak dewasa. Namun, ketenangan hidup mereka terusik ketika sebuah luka kecil pada kaki sang suami membawa mereka ke ambang bahaya yang tak terduga dan mengubah segalanya.
“Awalnya bapak kerja bikin jerjak (teralis rumah) sama tetangga. Tapi waktu beresin potongan besi, bapak enggak sengaja injak serpihannya,” cerita Siti Rahma dengan suara lirih. Kejadian itu membuat luka kecil di kaki suaminya. Namun, diperparah oleh riwayat diabetes yang diderita suaminya. Luka kecil itu dengan cepat berubah menjadi infeksi serius. “Enggak lama, kaki bapak mulai memburuk. Hanya bisa tiduran di tempat tidur, merintih kesakitan,” tambahnya.
Kondisi Juliandi makin memburuk dari hari ke hari, selama dua bulan lukanya tak kunjung sembuh. Siti Rahma terpaksa menjadi tulang punggung keluarga, berjuang keras menafkahi keempat anaknya. Keluarga sempat memanggil bidan setempat saat kondisi kesehatan Juliandi mulai menurun, tak sadarkan diri, hingga demam tinggi. Setelah tiga hari dua malam diinfus dan diberi obat, Juliandi mulai sadar kembali. Namun, biaya pengobatan bidan memaksa Siti Rahma meminjam uang dari saudara dan pada akhirnya menambah beban ekonomi mereka saat itu.
“Saya masih ingat, waktu pertama kali Bu Emelia datang untuk survei dan melihat kondisi suami saya, beliau langsung bilang: ‘Kalau bapak sudah tidak tahan, kita bawa ke rumah sakit besok.’ Padahal seharusnya ini dibahas dulu di kantor, tapi dia tidak menunda. Itu jadi titik balik bagi kami,” kenang Siti Rahma, suaranya bergetar menahan haru. Kecepatan respon dan empati yang ditunjukkan Relawan Tzu Chi menjadi secercah cahaya di tengah kegelapan yang mereka alami.
 
											 
											“Terjatuh karena istri tidak kuat membopong dan kaki Pak Juliandi Pulungan sedikit lemas,” ungkap Emelia. Akibat kecelakaan tersebut, menyebabkan luka yang diderita Juliandi kian memburuk. Emelia segera mengarahkan Siti untuk membersihkan luka dan memberi obat yang ada, serta membawa Juliandi ke Rumah Sakit Imelda keesokan harinya pada hari Minggu, 22 Juni 2025.
Pada hari Selasa, 24 Juni 2025, dokter menyampaikan kabar yang menyedihkan, yaitu luka di telapak kaki Juliandi sudah mengalami infeksi parah yang menjalar hingga ke betis. Kondisi Juliandi juga sangat mengkhawatirkan dengan HB awal 5,5 (setelah transfusi mencapai 10) dan gula darah melonjak hingga 500.
 
											Untuk memastikan Juliandi segera mendapatkan penanganan medis yang krusial ini, keluarga dihadapkan pada beberapa kendala administrasi yang mendesak. Berkat arahan dan bantuan Emelia yang menyarankan untuk segera mengurus adminitrasi ke Kantor Desa. Dalam kurun waktu dua hari, kendala ini berhasil diselesaikan sehingga memungkinkan Juliandi segera menerima perawatan yang dibutuhkan.
Kini, setelah operasi selesai dan masa pemulihan dijalani, kehidupan mulai beranjak dari kelamnya rasa sakit. “Bapak sudah tidak merasakan sakit seperti dulu,” ujar Siti Rahma dengan senyum lega. Dari wajah yang awalnya pucat, merintih kesakitan, hingga menangis, kini kembali tersenyum ceria, bahkan bisa bercanda dan mengusili sang istri.
“Kami mulai jalani pola hidup sehat, berhenti merokok, dan menjaga makan,” tambahnya. Bantuan kursi roda dari kerabat mempermudah aktivitas Juliandi, Relawan Tzu Chi juga terus memberikan dukungan moril untuk proses selanjutnya, termasuk harapan akan pemasangan kaki palsu Ketika kondisi Juliandi sudah memungkinkan.
 
											Siti Rahma juga menyimpan harapan besar untuk bisa meneruskan jalinan cinta kasih kepada sesama, sepeti yang dilakukan oleh Relawan Tzu Chi di masa yang akan datang. “Kami hanya bisa berdoa agar anak-anak kami bisa berhasil, dan suatu hari kami juga bisa membalas kebaikan ini,” harap Siti Rahma.
Kisah Juliandi dan istrinya menjadi bukti nyata bahwa di tengah keterbatasan dan keputusasaan, cinta kasih dan kepedulian sesama dapat menjadi jembatan menuju harapan dan pemulihan. Pendekatan Relawan Tzu Chi yang mengedepankan empati, kepedulian, perhatian, dan kasih sayang tanpa memandang suku, ras, dan agama. Hal ini selaras dengan Kata Perenungan Master Cheng Yen “Keindahan yang paling kuat bertahan dan abadi di dunia adalah cinta kasih universal tanpa pamrih yang ada di dalam hati setiap orang.”
Jurnalis : Gunawan Halim (Tzu Chi Medan),
Fotografer : Gunawan halim, Emelia Br. Purba (Tzu Chi Medan),
Editor : Fikhri Fathoni.
 
								